Sunday, August 31, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 60)

Another World

Another World menyatukan dunia imajinatif dua seniman berbeda dalam sebuah pameran duo (Fauzan dan Joko Nastain) yang mengajak pengunjung untuk melangkah melampaui batas-batas yang familiar. Melalui bahasa visual yang kontras namun saling melengkapi, masing-masing seniman menawarkan visi personal tentang realitas alternatif—dunia yang dibentuk bukan oleh logika atau konvensi, melainkan oleh emosi, ingatan, dan kemungkinan. Dalam ruang bersama ini, imajinasi menjadi bentuk perlawanan dan keajaiban—alat untuk membayangkan kembali eksistensi di luar batasan keseharian. Dari lanskap surealis hingga interpretasi abstrak mimpi batin, karya-karya ini menantang pengunjung untuk menangguhkan ketidakpercayaan dan mengeksplorasi apa yang mungkin terjadi, alih-alih apa yang nyata.

Another World bukanlah tempat tunggal, melainkan pertemuan berbagai perspektif—titik temu dimana dua pikiran artistik mengungkap semesta paralel, mengundang kita untuk mempertimbangkan cara-cara baru dalam melihat, merasakan, dan menjadi. Pameran ini berlangsung di Vice & Virtue Gallery pada tanggal 9 - 31 Agustus 2025.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 26 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, August 30, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 59)

Are We Ok ?

Perkembangan teknologi telah mengubah pola hidup manusia. Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Hubungan antarmanusia, yang dulu berpusat pada pertemuan langsung dan interaksi tatap muka, telah bergeser ke ranah virtual—cepat dan tanpa batas.

Konsep sosialisasi telah berubah. Melalui media, hubungan sosial mungkin menjadi dangkal; identitas dapat disembunyikan, dan ini pada akhirnya memengaruhi kesehatan mental. Situasi semakin memburuk selama pandemi Covid-19, ketika manusia sebagai makhluk sosial menjadi semakin individualistis, terisolasi, dan menarik diri.

Oleh karena itu, kesehatan mental menjadi tema Pameran OPC (One Piece Club) 2025: "ARE WE OK?". Pertanyaan ini tercermin dalam karya-karya yang dikurasi, di mana para seniman dan kolektor terhubung melalui karya-karya yang mengungkap kesepian, kebingungan, dan pencarian identitas. Diri yang tersembunyi digambarkan melalui imajinasi tanpa batas, di mana "perasaan" dan "empati" seringkali terabaikan. Ruang-ruang kosong, tatapan yang jauh, dan objek-objek yang dipenuhi ketakutan dan ketidakpastian muncul dengan jelas.

Lebih jauh lagi, komunitas terpinggirkan yang lahan produktif dan hak perumahannya terancam oleh tekanan kapitalisme, yang memaksa mereka bermigrasi ke kota-kota besar dan bertahan hidup di daerah kumuh—juga mengalami perjuangan kesehatan mental. Perjuangan kemerdekaan dan gejolak politik—mulai dari pembakaran, perusakan, pengkhianatan, hingga negosiasi tanpa akhir lintas generasi—telah meninggalkan rasa cemas yang diwariskan kepada setiap generasi.

Namun keindahan alam, persahabatan, kebersamaan, dan penyerahan diri terus memberikan dampak positif pada kesehatan mental. Beberapa karya dalam pameran ini mencerminkan kondisi tersebut. Pergeseran praktik seni kontemporer melalui media dan teknologi—dari seni video dan animasi hingga NFT—juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pameran ini. Pameran OPC Indonesia 2025 menampilkan 56 karya individu dan 1 karya kolektif dari 51 anggota, yang mencerminkan antusiasme para pencinta seni Indonesia. Pameran ini berlangsung pada tanggal 23 - 31 Agustus 2025 di RUCI Art Space.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 27 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, August 23, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 58)

In Between Stillness

Wedhar Riyadi menggelar pameran tunggal bertajuk In Between Stillness di Ara Contemporary, Jakarta, pada tanggal 16 Agustus hingga 14 September 2025. Pameran ini menampilkan seri terbarunya, Tabletop Diaries. Dengan semangat merayakan sisi-sisi kehidupan manusia yang terabaikan dan biasa saja, yang muncul dari pengamatannya yang tenang selama isolasi pandemi, Riyadi melukis susunan benda-benda mati, menggemakan tradisi lukisan still life, tetapi benda-benda yang ia gambarkan merupakan replika tanah liat. 

“Ini merupakan pameran pertama saya di Jakarta setelah yang terakhir 14 tahun yang lalu. Karya seni ini merupakan hasil observasi saya selama masa pandemi yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Karena itu karya patung instalasi dan lukisan saya ini berhubungan dengan apa yang saya lihat sehari-hari, benda-benda rumahan,” tutur Wedhar, mengawali penjelasannya kepada media, Jumat (15/8/2025). 

Reproduksi ini tidak dimaksudkan untuk direplikasi; melainkan direduksi menjadi monokrom tanpa label atau karakteristik apa pun, yang memungkinkan benda-benda tersebut mengungkapkan maknanya melalui penikmatnya dengan mencerminkan prinsip spiritual bahwa makna muncul dalam keheningan dan kekosongan. Tabletop Diaries melanjutkan eksplorasi Riyadi yang berkelanjutan terhadap konteks-konteks yang saling bertentangan dalam satu komposisi tunggal, yakni alam dan buatan, di mana, dalam karya-karya sebelumnya, ia melukis potret-potret yang dihiasi unsur-unsur karakter lucu. Secara tradisional, lukisan still life mengungkap kefanaan eksistensi manusia melalui kefanaan objek-objek seperti buah yang digigit, bunga yang layu, dan rangkaian bunga buatan manusia. Demikian pula, dalam karya-karya Riyadi, jejak kehadiran manusia terasa pada permukaan-permukaan tanah liat yang terjepit. 

Jejak sentuhan, keausan, noda, goresan, dan patina menjadi lapisan sejarah, penanda bahwa benda-benda ini pernah hidup. Tanah liat, atau dalam hal ini tanah, telah lama melambangkan penciptaan sekaligus akhir kehidupan. Kecemerlangan latar belakang dan pencahayaan yang menyilaukan menghadirkan kesan artifisial. Ketegangan antara alam dan sintetis, yang hidup berdampingan dalam satu komposisi, mengajak kita untuk mempertimbangkan apakah kita secara naluriah lebih mengutamakan alam daripada buatan manusia, atau mungkin sebaliknya. 

“Mengapa saya mereplikasikan benda-benda yang ada di rumah dengan tanah liat, karena merupakan medium yang mewakili manusia. Medium yang sifatnya sensitif, juga merekam lingkungan sekitar kita, ada bekasnya, ada keausannya, dia juga lunak seperti tubuh manusia, sekaligus rentan. Selain itu, cara melukis saya pakai metode still life jadi antara seniman dengan objeknya saling berhadapan, sehiingga ada koneksi,” jelasnya. Seri terbarunya, Tabletop Diaries, menggambarkan susunan benda-benda rumah tangga yang terbuat dari tanah liat, merujuk pada lukisan still-life abad ke-16, yang sering kali mengeksplorasi tema-tema kehidupan dan perjalanan waktu, serta kaitan tanah liat atau tanah dengan asal-usul dan akhir kehidupan manusia.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 19 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Sunday, August 17, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 57)

Whoever Stays Until The End Will Tell The Story

ROH merasa terhormat mempersembahkan "Whoever Stays Until The End Will Tell The Story", pameran tunggal pertama Agung Kurniawan (lahir 1968, Jember, Indonesia) di galeri ini. Pameran ini menampilkan proyek-proyek jangka panjang yang telah digarapnya selama lebih dari satu dekade, berdialog dengan sejumlah seniman baru untuk pameran tersebut, termasuk relief dinding teralis, gambar di atas kertas, instalasi kinetik, performans, dan lukisan. Pameran ini menekankan berbagai aspek praktik Kurniawan—inovasi berkelanjutannya dalam interaksi antara gambar dan performans sebagai bentuk latihan memori, kembalinya yang sering ke alegori sakral sebagai skema untuk menguraikan ambiguitas moral yang membentuk kehidupan kolektif—dan bekerja bersama sebagai perangkat untuk memandu hafalan akan relevansi abadi dari kisah-kisah tentang iman, pengkhianatan, harapan, dan pengorbanan ini.

Agung Kurniawan mengubah ingatan menjadi tarian rekonsiliasi melawan kelupaan, di mana gambar di atas kertas, pertunjukan, relief dinding teralis, dan lukisan berperan sebagai saluran pelestarian. Karya-karya Kurniawan berfungsi seperti manuskrip beriluminasi—sebagai alat untuk mendorong diskusi dan memengaruhi kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan struktur yang jauh lebih besar. "Dalam perjalanan menuju perjuangan yang gagal, Anda membutuhkan lamunan," ujarnya. Kehidupan sehari-hari terjalin dengan simbolisme sakral, memantulkan ke luar ke dalam segudang harapan, keputusasaan, dan pertanyaan eksistensial yang berkelanjutan. Membingkai lukisan-lukisannya—yang terbenam dalam nuansa merah—sebagai penyeimbang puitis terhadap praksis, ini adalah ruang untuk empati dan kekerabatan universal yang dilatarbelakangi oleh keterikatan sejarah pribadi kita dan hubungannya dengan konteks global yang lebih luas. Pameran Whoever Stays Until The End Will Tell The Story berlangsung pada tanggal 6 Agustus - 7 September 2025 di ROH, Jalan Surabaya 66, Jakarta 10310.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 15 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, August 16, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 56)

Fragmentasi Popular-Unpopular

Awal Agustus 2025, sebuah berita yang cukup konyol menyeruak di laman-laman media sosial Indonesia di tengah ramainya berita soal logo perayaan kemerdekaan yang jelek, pemberian abolisi dan amnesti, jurusan filsafat mesti dihapus, dan berita- berita romansa hidup selebritas. Berita tersebut berpusat pada maraknya seruan mengibarkan bendera Jolly Roger, atau bendera bajak laut Topi Jerami dari anime One Piece. Seruan dan juga tindakan pengibaran dirumah-rumah dan kendaraan menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia. Banyak warga yang menafsirkan bendera tersebut sebagai protes simbolis-pencarian kebebasan dan keadilan terhadap korupsi yang dirasakan,yang mencerminkan tema salah satu manga dan anime terpopuler didunia tersebut.

Yang konyol di luar soal One Piece sendiri juga adalah sedemikian cepatnya berita tersebut merebak dan menjadi populer--mungkin membuat kita sendiri lupa dengan banyak berita lain yang bisa berdampak lebih serius terhadap kehidupan bernegara. Soal ini memang tidak hanya sekadar tingkah laku iseng warga +62, tetapi juga menjadi pengingat bahwa sebagian besar opini dan perhatian kita masih dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat melalui algoritma berita di media sosial. Fenomena ini mungkin bisa menjadi mikrokosmos yang sempurna bagi kondisi kontemporer kita dan merupakan pintu masuk yang penting ke dalam pameran 'Fragmentasi Popular - Unpopular' yang menjadi tema Pameran Gorta 2025 kali ini.

Dalam payung kuratorial, pameran ini memang menawarkan pembacaan yang luas atas tanggapan perupa terhadap situasi masyarakat di tengah luber informasi serta pemahaman akan kebenaran yang hakiki. Tim kurator berupaya untuk menafsir situasi sosial di era paskainternet untuk mengungkapkan bagaimana batas antara hiburan dan pidato politik telah kabur, dan bagaimana simbol fiksi dapat membawa lebih banyak kebenaran yang dirasakan daripada narasi resmi negara, lewat tangan-tangan kreatif seniman Jakarta. Bendera bajak laut menunjukkan sebuah dunia di mana 'kebenaran pribadi', yang ditempa dari kecintaan bersama terhadap sebuah gagasan fiksi-sebuah bentuk kreatif, dapat secara langsung menantang otoritas pemerintah.

Soal bajak laut fiksi di atas dapat membeberkan pertanyaan-pertanyaan penting dalam pameran ini. Bagaimana realitas kita dibangun, dan apa yang terjadi ketika alat yang dimaksudkan untuk menghubungkan kita juga digunakan untuk mengendalikan kita? Merebaknya berita populer secara cepat dan masif tersebut memperlihatkan persoalan kompleks dalam peta kekuasaan yang lebih besar, yang dimulai dari gawai pribadi kita. Saat ini kita semua hidup di dalam apa yang disebut El Pariser sebagai "gelembung filter", sebuah alam semesta informasi yang tak terlihat yang terasa bebas namun sebenarnya dikurasi dengan cermat oleh algoritrma komputer untuk membuat kita tetap terhubung.

Akan tetapi, gelembung pribadi ini bukan hanya fitur netral dari teknologi. Meminjam pemikiran Ulises A, Mejias dan Nick Couldry, situasi ini adalah titik akhir dari sebuah sistem "kolonialisme data"-ekstraksi perhatian dan pengalaman manusia yang sangat besar dan tidak merata untuk mendapatkan keuntungan dan kontrol sosial. Di titk inilah fragmentasi hidup berdasarkan parameter-parameter tertentu dibuat untuk mengendalikan kita. Sebuah sistem di mana realitas hidup kita secara diam-diam dibentuk oleh otoritas yang kuat dan tak terlihat.

Di tengah lanskap realitas yang terfragmentasi dan arus informasi yang terkontrol ini, di manakah posisi seorang perupa? Mungkin sama seperti warga yang mengibarkan bendera bajak laut perupa dapat menjadi bajak laut, menavigasi dunia dimana setiap simbol bisa punya makna yang sangat kuat dan setiap gambar dapat dibaca secara politis. Di titik ini, perupa dihadapkan pada sebuah pilihan mendasar: mengikuti arus populer dan menciptakan karya yang memperkuat sistem algoritma yang mulus dan dapat diprediksi, atau memilih jalur non-populer, menjadi sebuah glitch-sebuah gangguan yang mungkin dapat menggoyang otoritas yang berjalan secara tersembunyi.

Strategi pertama adalah strategi penyelarasan, perupa yang mengikuti arus populer akan menciptakan karya yang berkembang dalam parameter platform digital, ataupun memilih medium dan subyek yang populer. Karya tersebut seringkali langsung terlihat, mudah dipahami, dan terstruktur untuk didistribusikan di sosial media secara maksimal. Strategi kedua- strategi melawan arus. Melawan di sini dapat diartikan sebagai pilihan artistik yang menjauhi teknik, medium, atau subjek yang populer. Tentu ada risiko ketika memilih pendekatan semacam ini, sebab karyanya mungkin tidak dapat dipahami secara mudah. Kendati demikian, kedua strategi pembacaan ini tidak serta-merta memberikan jawaban kepada kita. Alih-alih, kedua strategi ini mendorong kita untuk merenung sejenak, mengundang untuk mempertimbangkan perbedaan antara apa yang kita lihat dan apa yang sebenarnya ada di sana.

Dengan menjembatani dunia "populer" dan "tidak populer', para perupa dalam pameran ini menyusun ulang hal-hal yang menurut mereka penting untuk diutarakan; penting untuk disuarakan ke luar dari gelembung masing-masing. Karya-karya yang ditawarkan dalam pameran ini tidak menawarkan satu kebenaran alternatif. Sebaliknya, mereka menumbuhkan disposisi kesadaran kritis, mendorong kita untuk secara aktif mempertanyakan, mencari kompleksitas, dan menjadi individu yang lebh sadar akan realitas kita sendiri.

Perlawanan simbolis dari bendera One Piece beberapa waktu lalu adalah letusan spontan dari dorongan serupa. Di sini, para perupa menyalurkannya dengan maksud yang terfokus. Mereka menyediakan ruang sebagai bentuk pencarian berkelanjutan yang mungkin sulit ditemukan dalam arus kehidupan digital kita yang bergerak cepat "Fragmentasi Popular-Unpopular," dengan demikian, lebih dari sekadar pameran yang harus dilihat, pameran ini merupakan undangan untuk mengambil perspektif yang berbeda. Saat kita menjelajahi ruang pameran ini, kita dapat mempertimbangkan serangkaian pertanyaan penting : Fragmen-fragmen apa saja yang membentuk realitas kita sendiri? Bagian mana yang "populer", yang diberikan kepada kita oleh logika yang tidak terlihat, dan bagian mana yang "tidak populer" yang kita cari sendiri? Dan apa peran perupa dalam lanskap ini- apakah mereka hanya merefleksikan dunia kita yang terpecah-pecah, atau apakah mereka menawarkan alat untuk menyatukannya kembali? Pameran ini berlangsung pada tanggal 14 - 27 Agustus 2025 di TIM.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 15 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Wednesday, July 30, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 55)

The brighter, the sweeter

Pameran tunggal seniman resin asal Korea, Iurum, bertajuk The brighter, the sweeter berlangsung pada tanggal 28 Juni 2025 hingga 03 Agustus 2025 di Kendys Gallery, Jakarta. Pameran ini dibuka melalui kolaborasi antara Kendys Gallery serta B-tree Gallery dari Seoul dan Busan. "Huruf 'b' dan 's' sengaja memakai huruf kecil untuk terlihat lebih bersahabat. Maknanya bisa berarti makin terik musim panas, maka makin manis makanan penutupnya. Bisa juga bermakna makin bersinar dan manis dibanding kapan pun," ungkap Denny Yustana, direktur Kendys Gallery. 

Pameran ini menjadi pameran tunggal kesepuluh Iurum secara global sekaligus debut pertamanya di Indonesia. Karya-karya yang ditampilkan tidak hanya memikat secara visual, tetapi juga menyimpan filosofi mendalam yang berakar pada konsep SWEETCH, yakni gabungan kata sweet dan switch. SWEETCH adalah gagasan artistik yang menjadi inti karya Iurum sebagai sebuah upaya untuk mengubah pengalaman pahit dan kecemasan sehari-hari menjadi bentuk harapan yang lembut dan penuh kehangatan. Resin bening dan warna pastel menjadi medium utama yang digunakan untuk membekukan kenangan sehingga menjadikannya arsip emosi yang bisa dirasakan kembali dengan cara yang lebih ringan. 

Melalui resin, pastel, dan kenangan yang dikemas dalam bentuk tak terduga, pameran ini menunjukkan bahwa seni tidak perlu besar untuk menjadi bermakna. Kadang, justru dalam miniatur dan potongan manis, kita menemukan kekuatan untuk memahami diri sendiri.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 17 Juli 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Tuesday, July 29, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 54)

Emotional Resonance

Berubah memang tidak mudah, baik bagi yang melakukannya maupun yang menyaksikannya. Ada yang mungkin menyukai hasilnya, ada pula yang mungkin lebih menyukai versi lama. Siapa yang akan memutuskan mana yang terbaik untuk Anda? Buku The Courage to be Disliked karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga menjadi inspirasi utama perjalanan Jonathan Hadipranata dalam mengeksplorasi praktik seninya. Seperti yang dikatakan sang seniman, "Salah satu klaim utama buku ini adalah bahwa semua masalah muncul dari hubungan interpersonal, yang sangat selaras dengan refleksi saya sebagai seniman dan pribadi." Emotional Resonance adalah visualisasi perjalanan dan refleksi Jonathan dalam merangkul perubahan dalam praktik seninya, menampilkan jati dirinya.


Kisah Karat Besi

Cat dinding yang terkelupas, kabel listrik yang berantakan, serta pamflet dan stiker yang berserakan adalah elemen-elemen yang familiar dalam kehidupan sehari-hari Asmoadji. Rumah-rumahnya juga sangat berdekatan, seperti yang dikatakan sang seniman, "bertumpuk". Ada yang menyebutnya ramai dan pengap, ada pula yang menganggapnya hangat dan sederhana. Hal-hal inilah yang kemudian menjadi inspirasi utama praktik seninya, di mana ia memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitarnya, karena ia percaya benda-benda terbengkalai ini memiliki kisah untuk diceritakan. Kisah Karat Besi mengajak Anda untuk merasakan kehidupan di sisi lain Jakarta melalui mata sang seniman, mengenang masa lalu dalam lingkungan modern.

Kedua pameran ini berlangsung pada tanggal 26 Juni - 26 Juli 2025 di Baik Art. 

Saya menghadiri pameran pada tanggal 22 Juli 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Sunday, July 27, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 53)

Continuum

Pameran Continuum merupakan kolaborasi antara dosen-doser Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta dan Universitas Maranatha Bandung. Tema ini dipilih untuk menggambarkan kesinambungan ruang dan waktu sebagai bagian tak terpisahkan dari kesadaran manusia. Dalam era perubahan yang cepat, seni menjadi medium reflektif untuk mengeksplorasi bagaimana pengalaman, memori, dan identitas terjalin dalam suatu alur yang berkelanjutan. Seni selalu mampu menangkap, merefleksikan, dan menghubungkan dimensi ruang dan waktu dalam berbagai lapisan makna. Melalui pameran ini, kesinambungan dipahami bukan sekadar linearitas waktu, tetapi sebagai proses dinamis yang terus berkembang. 

Kolaborasi ini bertujuan untuk membangun dialog yang memperkaya wawasan seni rupa kontemporer. Continuum menyoroti kesinambungan ide, teknik, serta pendekatan artistik dari berbagai perspektif. Pameran ini tidak hanya menghubungkan dua institusi akademik, tetapi juga menjadi wadah untuk merayakan keberlanjutan dalam proses kreatif yang melampaui batas geografis dan temporal. Melalui karya-karya yang dihadirkan, para seniman diajak untuk mengeksplorasi bagaimana ruang dan waktu menjadi elemen yang aktif dan transformatif dalam praktik seni. 


Tujuan Pameran

Pameran ini menjadi platform bagi dosen seni rupa dari kedua institusi untuk berbagi gagasan, eksplorasi, dan ekspresi artistik. Karya-karya yang dihadirkan diharapkan mampu mencerminkan kesinambungan ruang, waktu, dan kesadaran dalam berbagai medium seni rupa. Selain itu, pameran ini bertujuan membangun dialog dan kolaborasi berkelanjutan antara seniman akademik dari berbagai latar belakang serta pendekatan artistik yang beragam. Pameran ini juga menjadi upaya untuk menggali lebih dalam hubungan antara konsep waktu dan ruang dalam praktik seni kontemporer, sekaligus menawarkan pengalaman estetis yang memperkaya pemahaman audiens terhadap kesinambungan dalam seni rupa. 

Konsep

Continuum menyoroti bagaimana kesinambungan ruang dan waktu dapat direpresentasikan dalam seni melalui berbagai pendekatan visual dan konseptual. Representasi tersebut dapat berupa narasi visual tentang transisi waktu, eksplorasi medium yang mencerminkan perubahan, atau penggunaan teknologi yang menghubungkan masa lalu dan masa depan. Seni tidak pernah hadir dalam ruang dan waktu yang terisolasi; ia selalu berkembang dalam dialog dengan konteksnya. Oleh karena itu, kesinambungan di sini juga mencakup interaksi antara tradisi dan inovasi, material dan immaterial, serta pengalaman individual dan kolektif. 

Beberapa pendekatan yang dapat diangkat dalam pameran ini antara lain: eksplorasi medium yang menciptakan efek kesinambungan dalam bentuk dan makna; karya yang merepresentasikan transisi secara visual maupun konseptual; penggabungan elemen tradisional dengan pendekatan kontemporer; serta karya yang merefleksikan memori kolektif dan pengalaman individu. Melalui pendekatan-pendekatan tersebut, Continuum menjadi ruang reflektif yang mengajak audiens untuk mempertanyakan peran seni sebagai jembatan antara masa lalu, kini, dan masa depan. 

Penutup

Kolaborasi dua institusi ini diharapkan mampu memperkuat hubungan akademik dan artistik serta memperluas wacana tentang seni sebagai proses yang berkesinambungan. Continuum bukan hanya menjadi panggung ekspresi artistilk para dosen seni rupa, tetapi juga menjadi ruang dialog yang memperkaya pemahaman terhadap peran seni dalam merespons realitas yang terus bergerak. Lebih dari sekadar menghadirkan karya, pameran ini membuka ruang diskusi dan refleksi mengenai keberlanjutan dalam seni rupa. 

Diharapkan pameran ini dapat menginspirasi pertukaran pemikiran dan metode penciptaan di lingkungan akademik dan profesional. Dengan semangat eksplorasi dan inovasi, seluruh partisipan diundang untuk menyumbangkan karya yang dapat memberikan wawasan serta inspirasi bagi audiens yang lebih luas. 

Penyelenggara

Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta

Fakultas Humaniora dan Industri Kreatif, Universitas Maranatha Bandung 

Lokasi dan Waktu

Galeri Cipta I, Taman Ismail Marzuki

14 -26 Juli 2025 

Saya menghadiri pameran pada tanggal 21 Juli 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, July 26, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 52)

Ara Contemporary dengan bangga mempersembahkan pameran ganda pertamanya, 'Doorway', sebuah pameran tunggal karya Carmen Ceniga Prado di Main Gallery, yang ditampilkan bersamaan dengan pameran kelompok 'Ruins and Blueprints' di Focus Gallery. Kedua pameran ini berlangsung pada tanggal 05 Juli - 03 Agustus 2025 di Ara Contemporary.

Doorway

'Doorway' karya Carmen Ceniga Prado menawarkan eksplorasi meditatif tubuh melalui abstraksi, menelusuri sensasi sekilas dan keadaan liminal. Lukisan-lukisannya mencerminkan ritme yang berubah-ubah melalui gradasi tonal. Fragmen-fragmen kanvas yang dijahit dan pembuatan tanda ritmis mencerminkan proses menyatukan pemahaman yang mewujud—sensasi demi sensasi. Alih-alih mengilustrasikan tubuh, lukisan-lukisannya menelusuri ritmenya yang tenang, membangkitkan bahasa yang terbentang perlahan, di antara ruang-ruang di antaranya. 


Ruins and Blueprints

Pameran kelompok ini mencerminkan dialog berkelanjutan antara masa lalu dan masa kini—di mana sejarah tidak tetap, melainkan terus-menerus dibayangkan kembali melalui lensa masa kini. Dibingkai oleh metafora 'reruntuhan' sebagai sisa dan 'cetak biru' sebagai proposisi, pameran ini mempertemukan 7 seniman :
- Agan Harahap
- Dita Gambiro
- Enka Komariah
- Ipeh Nur
- Irfan Hendrian
- Lai Yu Tong
- Natalie Sasi Organ 

Melalui gambar, material, dan narasi, setiap karya merefleksikan jalinan antara masa lalu dan masa kini, menelusuri bagaimana sejarah yang diwariskan terus membentuk imajinasi kita di masa kini. 

Saya menghadiri pameran pada tanggal 18 Juli 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Monday, June 09, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 51)

Unearth

Dalam merenungkan keterhubungan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta, pikiran manusia kerap mengembara tidak hanya pada keniscayaan esensi penciptaan, tetapi juga pada bagaimana segala sesuatu dapat tumbuh dan berkembang dalam ikatan ruang dan waktu. Ruang dan waktu secara terus-menerus melahirkan berbagai persilangan dan pertemuan yang menjadikan kehidupan manusia sangat kompleks, meskipun tampak begitu singkat. Menelaah kembali makna penciptaan, kelahiran, dan pertumbuhan manusia dalam koeksistensi dengan alam telah menjadi tema mendasar dalam praktik artistik Jessica Soekidi selama beberapa tahun terakhir. Prinsip-prinsip keberlanjutan yang ia tekuni melalui latar belakang akademisnya di bidang arsitektur jelas memengaruhi perspektifnya dalam memahami asal-usul dan tujuan siklus kehidupan demi mencapai harmoni antara manusia dan alam.

Pameran tunggal Jessica Soekidi dalam gagasan utama Unearth menawarkan kilasan atas refleksi, perenungan, dan spekulasinya mengenai kefanaan material organik dan kehidupan manusia. Dalam Unearth, Jessica berupaya mengungkap berbagai perkembangan dalam praktik artistiknya melalui siklus kehidupan tanah—sebuah elemen yang secara fisik merepresentasikan alam dan secara simbolik berkaitan dengan penciptaan manusia. Bagi Jessica, mengeksplorasi gagasan-gagasan yang berkaitan dengan tanah adalah seperti menelusuri kembali perjalanan kreatifnya dari sudut pandang yang sangat manusiawi.

Dasar dari karya yang dipresentasikan dalam Unearth berakar pada simbol-simbol yang merepresentasikan lapisan-lapisan pemikiran dan perkembangan manusia. Lapisan terbawah, yang digambarkan sebagai bentuk persegi, merujuk pada kehidupan yang berpijak pada adat, kepercayaan, dan tradisi. Bentuk lingkaran pada lapisan tengah melambangkan siklus dan dinamika perubahan. Sementara itu, lapisan teratas dipenuhi dengan bentuk segitiga yang menyimbolkan hubungan antara manusia, alam, dan entitas tertinggi dari Penciptaan. Ketiga bentuk utama ini dalam komposisi Unearth dihadirkan oleh Jessica Soekidi sebagai upaya untuk mengeksplorasi gagasan tentang kemanusiaan. Apa sesungguhnya arti menjadi manusia? Dan bagaimana seharusnya manusia menjalani keberadaannya? 

Sekumpulan figur tiga dimensi berukuran kecil berbentuk manusia juga hadir dalam berbagai pose yang melambangkan sindiran terhadap kehidupan sehari-hari dan kesederhanaan—secara ironis, di tengah kompleksitas keberadaan manusia saat ini. Sang seniman seolah ingin menekankan bagaimana manusia berpijak pada tanah, yakni materi dasar dari mana mereka diciptakan. Hal ini mencerminkan pendekatan artistik Jessica Soekidi yang konsisten dan selalu dibangun di atas fondasi karya-karya sebelumnya.

Kehadiran figur manusia yang utuh dan penggunaan tanah sebagai material simbolik penciptaan manusia—menurut ajaran agama-agama Abrahamik—menjadi titik awal eksplorasi Jessica Soekidi terhadap keberagaman umat manusia. Figur-figur manusia yang berdiri di atas gundukan tanah tampak merepresentasikan pandangan umum terhadap kompleksitas manusia. Penggunaan tanah yang berasal dari berbagai lokasi menjadi metafora atas keberagaman karakter dan latar belakang manusia. Tanah tidak lagi sekadar simbol penciptaan manusia, tetapi juga simbol keberagaman. Demikian pula, material organik yang tumbuh dari tanah merefleksikan keterbatasan ruang fisik dan kefanaan waktu, sekaligus menjadi renungan atas singkatnya kehidupan manusia.

Unearth merupakan karya terbaru Jessica Soekidi, yang memosisikan tanah sebagai material inti dalam praktik kreatifnya. Tanah tidak hanya diproses secara fisik—melalui teknik pembakaran keramik yang dikombinasikan dengan elemen organik dan perkembangan teknologi pencetakan 3D terkini—tetapi juga dikaji secara simbolik, dengan merujuk pada berbagai gagasan konseptual tentang penciptaan manusia dan alam semesta. Pameran ini berlangsung pada tanggal 24 Mei 2025 - 30 Juni 2025 di Sal Project Artspace, Ranuza, JI. H. Agus Salim, RT.9/RW.4, Gondangdia, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus lbukota Jakarta 10350.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 03 Juni 2025.

Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.