Tuesday, September 30, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 64)

The Subconscious Room

Ada ruang-ruang sunyi dalam diri manusia yang jarang tersentuh cahaya kesadaran. la tidak selalu berbicara lantang, tetapi keberadaannya menetap dalam emosi yang sulit dijelaskan, ingatan yang samar, dan intuisi yang muncul tanpa alasan yang jelas. The Subconscious Room adalah sebuah pameran yang mengajak kita masuk ke wilayah batin yang tersembunyi. Di sini, seni menjadi jendela untuk memahami sisi terdalam dari pengalaman manusia. Bukan sekadar bentuk ekspresi, tetapi juga sebagai medium refleksi. 

Pameran ini mempertemukan karya-karya dari seniman yang menyelami kesadaran bawah sadar mereka dan mewujudkannya melalui berbagai medium seperti lukisan, instalasi, objek, hingga bentuk eksperimental yang reflektif. Setiap karya menghadirkan fragmen personal yang membawa kita pada perenungan tentang ketegangan batin, kehilangan, harapan, dan bisikan emosi yang sering kali terabaikan. Tidak ada satu narasi tunggal yang mendominasi. Sebaliknya, setiap karya menjadi ruang terbuka bagi penonton untuk merespons dengan cara yang unik dan personal. Pameran ini menampilkan karya dari Anjastama, Bahaudin, Cade, Don Bosco Laskar, Dzulfahmi Abyan, Huang Zhijun, Rumondang, Ufa Faizah, Yula Setyowidi, dan Zulfa Zuppe.

Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan, The Subconscious Room menjadi ajakan untuk memperlambat langkah dan mendengarkan diri sendiri. Keheningan dalam ruang ini bukanlah kekosongan, melainkan ruang yang sarat makna. la mengingatkan bahwa tidak semua hal harus djelaskan secara rasional agar bisa dipahami secara emosional. Pameran ini mengangkat keheningan sebagai nilai yang sah untuk dihadirkan dan dirayakan. 

Kesadaran bawah sadar hadir dalam bentuk yang tidak selalu logis. la muncul dalam mimpi yang aneh, dalam keputusan yang diambil tanpa alasan jelas, atau dalam dorongan untuk mencipta yang datang tiba-tiba. Para seniman dalam pameran ini menangkap momen-momen itu dengan cara yang jujur dan intuitif. Melalui proses penciptaan yang tidak selalu terencana, mereka menunjukkan bahwa dalam kerentanan manusia tersimpan kekuatan dan ketahanan yang tidak kalah besar. 

Lebih dari sekadar ruang pamer, The Subconscious Room adalah tempat untuk hadir secara utuh. Hadir dengan luka, harapan, intuisi, dan suara hati yang mungkin tidak terdengar, tetapi nyata. la adalah ruang perantara di mana batas antara luar dan dalam menjadi kabur. Tempat di mana yang tak terlihat bisa dirasakan, dan yang tak terucapkan bisa dipahami. Lewat karya-karya yang lahir dari kesunyian, pameran ini menjadi ruang yang menyentuh, mengingatkan, dan menyembuhkan. Pameran ini berlangsung pada tanggal 09 Agustus 2025 sampai 05 Oktober 2025 di Yuan Gallery, Jakarta Art Hub Ranuza.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 26 September 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Sunday, September 28, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 63)

Harum Tanah Ketika Hujan Pertama

"Harum Tanah Ketika Hujan Pertama" kerap dinamai hujan bau tanah, atau bau alam. la juga menandai perihal waktu, ada peristiwa alam - menandakan berakhirnya musim kemarau berganti musim hujan, akan menumbuhkan tetumbuhan yang sudah mengering, tetumbuhan yang sudah menyatu bersama tanah. Secara metaforik juga bisa diartikan cara alam menyapa kita, aromanya membisikkan tentang kenangan masa lalu, sekaligus membawa pesan akan datangnya hari gembira. 

Keunikan peristiwa "Harum Tanah Ketika Hujan Pertama" seperti merasakan kehadiran karya Rangga Aputra dalam pameran tunggalnya ini. Ada kesederhanaan dalam memilih diksi dan warna yang dipungut dari seputar keseharian serta lingkungan sekitar -diksi dan warna yang ekologis tumbuh pada keseluruhan karyanya. Pemilihan diksi yang sangat mudah dipahami, diksi-diksi yang lebih dekat dengan alam lingkungan, tanah, langit, dedaunan, tetumbuhan yang menyerupai sulur-sulur dengan beragam fantasi dan naluri. Ketaksadaran itu melekat bersama memorinya, pengalaman sosial, kultural, spiritual, atau keinginan merawat kenangan yang beririsan dari masa lalu dan kehidupan sehari-hari, nostalgis, sekaligus empirisme. 

Kesederhanaan lain yang bisa kita jumpai adalah gerakan artistik yang melatarbelakangi kekaryaan justru bukan dari tetumbuhan, melainkan berangkat dari "bias cahaya" yang memunculkan bercak hitam putih seperti kunang-kunang bertebaran yang jauh pada penglihatan, berkedip, ada bintik-bintik atau garis-garis cahaya menyerupai bentuk-bentuk' yang mengambang, saling berkelindan, saling-silang dan seterusnya, Disaat yang sama muncul juga abstraksi dedaunan, batang tanaman atau tetumbuhan yang berfantasi menyerupai sulur-sulur. Pergerakan garis-garisnya juga hadir tanpa struktur yang formal dan disana kita lebih menjumpai brushstroke yang ekologis sehingga semakin menguatkan ketaksadaran pada kekaryaan Rangga - ada kecenderungan subjektif, lebih mendekat pada hal-hal yang unik dan mampu dibaca oleh jiwa. Pameran ini berlangsung pada tanggal 13 September 2025 - 06 Oktober 2025 di Dgallerie Jakarta.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 24 September 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Wednesday, September 03, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 62)

Campur Series

Campur Series adalah ruang visual yang diciptakan oleh OGGZGOY, penuh dengan bentuk-bentuk bebas, warna-warna yang saling bertabrakan, dan cerita-cerita berlapis. Inti dari semuanya adalah satu karakter sederhana: sebutir telur. Tapi bukan sembarang telur. Telur ini bukan simbol kelahiran atau akhir, melainkan mewakili proses yang tak berujung, tanpa tujuan pasti. Telur ini tumbuh liar, berubah bentuk dengan bebas, dan menyerap berbagai elemen tanpa batas. Terkadang lucu, terkadang absurd, seringkali sulit dijelaskan. Setiap karya di ruang ini adalah fragmen perjalanan telur yang berkembang tanpa arah, namun entah bagaimana menemukan identitasnya di tengah kekacauan. 

Melalui karya seni ini, OGGZGOY membangun dunia yang apa adanya dan tulus. Tanpa pola yang tetap, tanpa aturan. Hanya naluri, dorongan, dan keberanian untuk memadukan semuanya menjadi satu ekspresi yang utuh. Di dunia yang senantiasa mengajarkan kita untuk "menjadi sesuatu", Campur Series merayakan proses menjadi, apa pun bentuknya. Pameran ini berlangsung pada tanggal 09 Agustus - 08 September 2025 di C'Project by MoT, JKT ART HUB Wisma Geha, 2nd floor JI. Timor No.25 Menteng, Central Jakarta.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 26 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Monday, September 01, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 61)

Light Ignition

Pada Sabtu, 9 Agustus 2025, Yong Rae “Yong R.” Kwon, seniman asal Seoul, Korea, secara resmi menggelar pameran tunggalnya bertajuk “Light Ignition” di Kendys Gallery, Jakarta. Yong R. Kwon yang dikenal atas eksplorasinya terhadap cahaya sebagai elemen utama dalam karya seninya merupakan lulusan jurusan seni rupa di Universitas Nasional Seoul. Sampai saat ini, ia telah menggelar lebih dari 19 pameran tunggal sejak tahun 1989. Pameran tunggal Yong R. Kwon di Jakarta menjadi kolaborasi kedua antara Kendys Gallery Jakarta dan B-tree Gallery dari Seoul dan Busan dalam menghadirkan seniman Korea ke panggung seni Indonesia.

Direktur Kendys Gallery, Denny Yustana, menjelaskan bahwa Light Ignition tidak hanya merujuk pada ledakan cahaya secara harfiah, tetapi juga menyiratkan kelembutan dan permulaan. “Walaupun karya-karya ini punya kontras yang kuat, refleksi cahayanya bergradasi dan lembut di atas kanvas putih. Jadi ada perpaduan antara keberanian dan kehati-hatian. Setiap elemen ditempatkan dengan penuh kesabaran, satu per satu,” ungkapnya. Karya-karya Yong R. Kwon menampilkan ribuan keping stainless steel yang disusun di atas kanvas setelah melalui proses pemolesan, pemipihan, dan pewarnaan. Dengan pencahayaan sederhana, karya-karya tersebut memantulkan cahaya yang tampak seperti api yang tidak pernah padam. Cahaya dalam karya-karya ini bukan sekadar alat bantu visual, melainkan menjadi inti dari ekspresi artistik itu sendiri.

Dalam wawancaranya, Yong R. Kwon berbagi kisah awal mula tercetusnya ide untuk menggunakan stainless steel sebagai medium utama. Sekitar 15 tahun lalu, Kwon tengah merenungkan arah karyanya. Di tengah kebingungan itu, ia menikmati chimaek, akronim untuk hidangan ayam goreng dan bir khas Korea, lalu membuang bungkus aluminium ke tempat sampah. Di ruangan studionya yang gelap, pantulan cahaya yang tampak dari aluminium itu memantik inspirasi. Dari momen sederhana itulah, lahir gagasan untuk menciptakan karya berbasis cahaya.

Melalui pameran ini, Yong R. Kwon ingin menyampaikan bahwa setiap orang memiliki percikan cahaya di dalam diri mereka. Cahaya tersebut adalah bentuk harapan, yang muncul bahkan di saat-saat paling rapuh. Seperti lilin kecil yang menyala dalam gelap, ia membawa kekuatan dan ketenangan. Lewat pameran ini, Kwon ingin mengingatkan bahwa cahaya adalah harapan yang bisa menyala dalam diri siapa pun. Karya Yong R. Kwon yang tampak sederhana namun sarat detail dan makna, mampu membuat pengunjung belajar cara memaknai cahaya, baik sebagai objek seni maupun sebagai metafora dalam kehidupan. Pameran ini berlangsung pada tanggal 09 Agustus - 06 September 2025 di Kendys Gallery.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 26 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Sunday, August 31, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 60)

Another World

Another World menyatukan dunia imajinatif dua seniman berbeda dalam sebuah pameran duo (Fauzan dan Joko Nastain) yang mengajak pengunjung untuk melangkah melampaui batas-batas yang familiar. Melalui bahasa visual yang kontras namun saling melengkapi, masing-masing seniman menawarkan visi personal tentang realitas alternatif—dunia yang dibentuk bukan oleh logika atau konvensi, melainkan oleh emosi, ingatan, dan kemungkinan. Dalam ruang bersama ini, imajinasi menjadi bentuk perlawanan dan keajaiban—alat untuk membayangkan kembali eksistensi di luar batasan keseharian. Dari lanskap surealis hingga interpretasi abstrak mimpi batin, karya-karya ini menantang pengunjung untuk menangguhkan ketidakpercayaan dan mengeksplorasi apa yang mungkin terjadi, alih-alih apa yang nyata.

Another World bukanlah tempat tunggal, melainkan pertemuan berbagai perspektif—titik temu dimana dua pikiran artistik mengungkap semesta paralel, mengundang kita untuk mempertimbangkan cara-cara baru dalam melihat, merasakan, dan menjadi. Pameran ini berlangsung di Vice & Virtue Gallery pada tanggal 9 - 31 Agustus 2025.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 26 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, August 30, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 59)

Are We Ok ?

Perkembangan teknologi telah mengubah pola hidup manusia. Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Hubungan antarmanusia, yang dulu berpusat pada pertemuan langsung dan interaksi tatap muka, telah bergeser ke ranah virtual—cepat dan tanpa batas.

Konsep sosialisasi telah berubah. Melalui media, hubungan sosial mungkin menjadi dangkal; identitas dapat disembunyikan, dan ini pada akhirnya memengaruhi kesehatan mental. Situasi semakin memburuk selama pandemi Covid-19, ketika manusia sebagai makhluk sosial menjadi semakin individualistis, terisolasi, dan menarik diri.

Oleh karena itu, kesehatan mental menjadi tema Pameran OPC (One Piece Club) 2025: "ARE WE OK?". Pertanyaan ini tercermin dalam karya-karya yang dikurasi, di mana para seniman dan kolektor terhubung melalui karya-karya yang mengungkap kesepian, kebingungan, dan pencarian identitas. Diri yang tersembunyi digambarkan melalui imajinasi tanpa batas, di mana "perasaan" dan "empati" seringkali terabaikan. Ruang-ruang kosong, tatapan yang jauh, dan objek-objek yang dipenuhi ketakutan dan ketidakpastian muncul dengan jelas.

Lebih jauh lagi, komunitas terpinggirkan yang lahan produktif dan hak perumahannya terancam oleh tekanan kapitalisme, yang memaksa mereka bermigrasi ke kota-kota besar dan bertahan hidup di daerah kumuh—juga mengalami perjuangan kesehatan mental. Perjuangan kemerdekaan dan gejolak politik—mulai dari pembakaran, perusakan, pengkhianatan, hingga negosiasi tanpa akhir lintas generasi—telah meninggalkan rasa cemas yang diwariskan kepada setiap generasi.

Namun keindahan alam, persahabatan, kebersamaan, dan penyerahan diri terus memberikan dampak positif pada kesehatan mental. Beberapa karya dalam pameran ini mencerminkan kondisi tersebut. Pergeseran praktik seni kontemporer melalui media dan teknologi—dari seni video dan animasi hingga NFT—juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pameran ini. Pameran OPC Indonesia 2025 menampilkan 56 karya individu dan 1 karya kolektif dari 51 anggota, yang mencerminkan antusiasme para pencinta seni Indonesia. Pameran ini berlangsung pada tanggal 23 - 31 Agustus 2025 di RUCI Art Space.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 27 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, August 23, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 58)

In Between Stillness

Wedhar Riyadi menggelar pameran tunggal bertajuk In Between Stillness di Ara Contemporary, Jakarta, pada tanggal 16 Agustus hingga 14 September 2025. Pameran ini menampilkan seri terbarunya, Tabletop Diaries. Dengan semangat merayakan sisi-sisi kehidupan manusia yang terabaikan dan biasa saja, yang muncul dari pengamatannya yang tenang selama isolasi pandemi, Riyadi melukis susunan benda-benda mati, menggemakan tradisi lukisan still life, tetapi benda-benda yang ia gambarkan merupakan replika tanah liat. 

“Ini merupakan pameran pertama saya di Jakarta setelah yang terakhir 14 tahun yang lalu. Karya seni ini merupakan hasil observasi saya selama masa pandemi yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Karena itu karya patung instalasi dan lukisan saya ini berhubungan dengan apa yang saya lihat sehari-hari, benda-benda rumahan,” tutur Wedhar, mengawali penjelasannya kepada media, Jumat (15/8/2025). 

Reproduksi ini tidak dimaksudkan untuk direplikasi; melainkan direduksi menjadi monokrom tanpa label atau karakteristik apa pun, yang memungkinkan benda-benda tersebut mengungkapkan maknanya melalui penikmatnya dengan mencerminkan prinsip spiritual bahwa makna muncul dalam keheningan dan kekosongan. Tabletop Diaries melanjutkan eksplorasi Riyadi yang berkelanjutan terhadap konteks-konteks yang saling bertentangan dalam satu komposisi tunggal, yakni alam dan buatan, di mana, dalam karya-karya sebelumnya, ia melukis potret-potret yang dihiasi unsur-unsur karakter lucu. Secara tradisional, lukisan still life mengungkap kefanaan eksistensi manusia melalui kefanaan objek-objek seperti buah yang digigit, bunga yang layu, dan rangkaian bunga buatan manusia. Demikian pula, dalam karya-karya Riyadi, jejak kehadiran manusia terasa pada permukaan-permukaan tanah liat yang terjepit. 

Jejak sentuhan, keausan, noda, goresan, dan patina menjadi lapisan sejarah, penanda bahwa benda-benda ini pernah hidup. Tanah liat, atau dalam hal ini tanah, telah lama melambangkan penciptaan sekaligus akhir kehidupan. Kecemerlangan latar belakang dan pencahayaan yang menyilaukan menghadirkan kesan artifisial. Ketegangan antara alam dan sintetis, yang hidup berdampingan dalam satu komposisi, mengajak kita untuk mempertimbangkan apakah kita secara naluriah lebih mengutamakan alam daripada buatan manusia, atau mungkin sebaliknya. 

“Mengapa saya mereplikasikan benda-benda yang ada di rumah dengan tanah liat, karena merupakan medium yang mewakili manusia. Medium yang sifatnya sensitif, juga merekam lingkungan sekitar kita, ada bekasnya, ada keausannya, dia juga lunak seperti tubuh manusia, sekaligus rentan. Selain itu, cara melukis saya pakai metode still life jadi antara seniman dengan objeknya saling berhadapan, sehiingga ada koneksi,” jelasnya. Seri terbarunya, Tabletop Diaries, menggambarkan susunan benda-benda rumah tangga yang terbuat dari tanah liat, merujuk pada lukisan still-life abad ke-16, yang sering kali mengeksplorasi tema-tema kehidupan dan perjalanan waktu, serta kaitan tanah liat atau tanah dengan asal-usul dan akhir kehidupan manusia.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 19 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Sunday, August 17, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 57)

Whoever Stays Until The End Will Tell The Story

ROH merasa terhormat mempersembahkan "Whoever Stays Until The End Will Tell The Story", pameran tunggal pertama Agung Kurniawan (lahir 1968, Jember, Indonesia) di galeri ini. Pameran ini menampilkan proyek-proyek jangka panjang yang telah digarapnya selama lebih dari satu dekade, berdialog dengan sejumlah seniman baru untuk pameran tersebut, termasuk relief dinding teralis, gambar di atas kertas, instalasi kinetik, performans, dan lukisan. Pameran ini menekankan berbagai aspek praktik Kurniawan—inovasi berkelanjutannya dalam interaksi antara gambar dan performans sebagai bentuk latihan memori, kembalinya yang sering ke alegori sakral sebagai skema untuk menguraikan ambiguitas moral yang membentuk kehidupan kolektif—dan bekerja bersama sebagai perangkat untuk memandu hafalan akan relevansi abadi dari kisah-kisah tentang iman, pengkhianatan, harapan, dan pengorbanan ini.

Agung Kurniawan mengubah ingatan menjadi tarian rekonsiliasi melawan kelupaan, di mana gambar di atas kertas, pertunjukan, relief dinding teralis, dan lukisan berperan sebagai saluran pelestarian. Karya-karya Kurniawan berfungsi seperti manuskrip beriluminasi—sebagai alat untuk mendorong diskusi dan memengaruhi kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan struktur yang jauh lebih besar. "Dalam perjalanan menuju perjuangan yang gagal, Anda membutuhkan lamunan," ujarnya. Kehidupan sehari-hari terjalin dengan simbolisme sakral, memantulkan ke luar ke dalam segudang harapan, keputusasaan, dan pertanyaan eksistensial yang berkelanjutan. Membingkai lukisan-lukisannya—yang terbenam dalam nuansa merah—sebagai penyeimbang puitis terhadap praksis, ini adalah ruang untuk empati dan kekerabatan universal yang dilatarbelakangi oleh keterikatan sejarah pribadi kita dan hubungannya dengan konteks global yang lebih luas. Pameran Whoever Stays Until The End Will Tell The Story berlangsung pada tanggal 6 Agustus - 7 September 2025 di ROH, Jalan Surabaya 66, Jakarta 10310.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 15 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, August 16, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 56)

Fragmentasi Popular-Unpopular

Awal Agustus 2025, sebuah berita yang cukup konyol menyeruak di laman-laman media sosial Indonesia di tengah ramainya berita soal logo perayaan kemerdekaan yang jelek, pemberian abolisi dan amnesti, jurusan filsafat mesti dihapus, dan berita- berita romansa hidup selebritas. Berita tersebut berpusat pada maraknya seruan mengibarkan bendera Jolly Roger, atau bendera bajak laut Topi Jerami dari anime One Piece. Seruan dan juga tindakan pengibaran dirumah-rumah dan kendaraan menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia. Banyak warga yang menafsirkan bendera tersebut sebagai protes simbolis-pencarian kebebasan dan keadilan terhadap korupsi yang dirasakan,yang mencerminkan tema salah satu manga dan anime terpopuler didunia tersebut.

Yang konyol di luar soal One Piece sendiri juga adalah sedemikian cepatnya berita tersebut merebak dan menjadi populer--mungkin membuat kita sendiri lupa dengan banyak berita lain yang bisa berdampak lebih serius terhadap kehidupan bernegara. Soal ini memang tidak hanya sekadar tingkah laku iseng warga +62, tetapi juga menjadi pengingat bahwa sebagian besar opini dan perhatian kita masih dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat melalui algoritma berita di media sosial. Fenomena ini mungkin bisa menjadi mikrokosmos yang sempurna bagi kondisi kontemporer kita dan merupakan pintu masuk yang penting ke dalam pameran 'Fragmentasi Popular - Unpopular' yang menjadi tema Pameran Gorta 2025 kali ini.

Dalam payung kuratorial, pameran ini memang menawarkan pembacaan yang luas atas tanggapan perupa terhadap situasi masyarakat di tengah luber informasi serta pemahaman akan kebenaran yang hakiki. Tim kurator berupaya untuk menafsir situasi sosial di era paskainternet untuk mengungkapkan bagaimana batas antara hiburan dan pidato politik telah kabur, dan bagaimana simbol fiksi dapat membawa lebih banyak kebenaran yang dirasakan daripada narasi resmi negara, lewat tangan-tangan kreatif seniman Jakarta. Bendera bajak laut menunjukkan sebuah dunia di mana 'kebenaran pribadi', yang ditempa dari kecintaan bersama terhadap sebuah gagasan fiksi-sebuah bentuk kreatif, dapat secara langsung menantang otoritas pemerintah.

Soal bajak laut fiksi di atas dapat membeberkan pertanyaan-pertanyaan penting dalam pameran ini. Bagaimana realitas kita dibangun, dan apa yang terjadi ketika alat yang dimaksudkan untuk menghubungkan kita juga digunakan untuk mengendalikan kita? Merebaknya berita populer secara cepat dan masif tersebut memperlihatkan persoalan kompleks dalam peta kekuasaan yang lebih besar, yang dimulai dari gawai pribadi kita. Saat ini kita semua hidup di dalam apa yang disebut El Pariser sebagai "gelembung filter", sebuah alam semesta informasi yang tak terlihat yang terasa bebas namun sebenarnya dikurasi dengan cermat oleh algoritrma komputer untuk membuat kita tetap terhubung.

Akan tetapi, gelembung pribadi ini bukan hanya fitur netral dari teknologi. Meminjam pemikiran Ulises A, Mejias dan Nick Couldry, situasi ini adalah titik akhir dari sebuah sistem "kolonialisme data"-ekstraksi perhatian dan pengalaman manusia yang sangat besar dan tidak merata untuk mendapatkan keuntungan dan kontrol sosial. Di titk inilah fragmentasi hidup berdasarkan parameter-parameter tertentu dibuat untuk mengendalikan kita. Sebuah sistem di mana realitas hidup kita secara diam-diam dibentuk oleh otoritas yang kuat dan tak terlihat.

Di tengah lanskap realitas yang terfragmentasi dan arus informasi yang terkontrol ini, di manakah posisi seorang perupa? Mungkin sama seperti warga yang mengibarkan bendera bajak laut perupa dapat menjadi bajak laut, menavigasi dunia dimana setiap simbol bisa punya makna yang sangat kuat dan setiap gambar dapat dibaca secara politis. Di titik ini, perupa dihadapkan pada sebuah pilihan mendasar: mengikuti arus populer dan menciptakan karya yang memperkuat sistem algoritma yang mulus dan dapat diprediksi, atau memilih jalur non-populer, menjadi sebuah glitch-sebuah gangguan yang mungkin dapat menggoyang otoritas yang berjalan secara tersembunyi.

Strategi pertama adalah strategi penyelarasan, perupa yang mengikuti arus populer akan menciptakan karya yang berkembang dalam parameter platform digital, ataupun memilih medium dan subyek yang populer. Karya tersebut seringkali langsung terlihat, mudah dipahami, dan terstruktur untuk didistribusikan di sosial media secara maksimal. Strategi kedua- strategi melawan arus. Melawan di sini dapat diartikan sebagai pilihan artistik yang menjauhi teknik, medium, atau subjek yang populer. Tentu ada risiko ketika memilih pendekatan semacam ini, sebab karyanya mungkin tidak dapat dipahami secara mudah. Kendati demikian, kedua strategi pembacaan ini tidak serta-merta memberikan jawaban kepada kita. Alih-alih, kedua strategi ini mendorong kita untuk merenung sejenak, mengundang untuk mempertimbangkan perbedaan antara apa yang kita lihat dan apa yang sebenarnya ada di sana.

Dengan menjembatani dunia "populer" dan "tidak populer', para perupa dalam pameran ini menyusun ulang hal-hal yang menurut mereka penting untuk diutarakan; penting untuk disuarakan ke luar dari gelembung masing-masing. Karya-karya yang ditawarkan dalam pameran ini tidak menawarkan satu kebenaran alternatif. Sebaliknya, mereka menumbuhkan disposisi kesadaran kritis, mendorong kita untuk secara aktif mempertanyakan, mencari kompleksitas, dan menjadi individu yang lebh sadar akan realitas kita sendiri.

Perlawanan simbolis dari bendera One Piece beberapa waktu lalu adalah letusan spontan dari dorongan serupa. Di sini, para perupa menyalurkannya dengan maksud yang terfokus. Mereka menyediakan ruang sebagai bentuk pencarian berkelanjutan yang mungkin sulit ditemukan dalam arus kehidupan digital kita yang bergerak cepat "Fragmentasi Popular-Unpopular," dengan demikian, lebih dari sekadar pameran yang harus dilihat, pameran ini merupakan undangan untuk mengambil perspektif yang berbeda. Saat kita menjelajahi ruang pameran ini, kita dapat mempertimbangkan serangkaian pertanyaan penting : Fragmen-fragmen apa saja yang membentuk realitas kita sendiri? Bagian mana yang "populer", yang diberikan kepada kita oleh logika yang tidak terlihat, dan bagian mana yang "tidak populer" yang kita cari sendiri? Dan apa peran perupa dalam lanskap ini- apakah mereka hanya merefleksikan dunia kita yang terpecah-pecah, atau apakah mereka menawarkan alat untuk menyatukannya kembali? Pameran ini berlangsung pada tanggal 14 - 27 Agustus 2025 di TIM.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 15 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Wednesday, July 30, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 55)

The brighter, the sweeter

Pameran tunggal seniman resin asal Korea, Iurum, bertajuk The brighter, the sweeter berlangsung pada tanggal 28 Juni 2025 hingga 03 Agustus 2025 di Kendys Gallery, Jakarta. Pameran ini dibuka melalui kolaborasi antara Kendys Gallery serta B-tree Gallery dari Seoul dan Busan. "Huruf 'b' dan 's' sengaja memakai huruf kecil untuk terlihat lebih bersahabat. Maknanya bisa berarti makin terik musim panas, maka makin manis makanan penutupnya. Bisa juga bermakna makin bersinar dan manis dibanding kapan pun," ungkap Denny Yustana, direktur Kendys Gallery. 

Pameran ini menjadi pameran tunggal kesepuluh Iurum secara global sekaligus debut pertamanya di Indonesia. Karya-karya yang ditampilkan tidak hanya memikat secara visual, tetapi juga menyimpan filosofi mendalam yang berakar pada konsep SWEETCH, yakni gabungan kata sweet dan switch. SWEETCH adalah gagasan artistik yang menjadi inti karya Iurum sebagai sebuah upaya untuk mengubah pengalaman pahit dan kecemasan sehari-hari menjadi bentuk harapan yang lembut dan penuh kehangatan. Resin bening dan warna pastel menjadi medium utama yang digunakan untuk membekukan kenangan sehingga menjadikannya arsip emosi yang bisa dirasakan kembali dengan cara yang lebih ringan. 

Melalui resin, pastel, dan kenangan yang dikemas dalam bentuk tak terduga, pameran ini menunjukkan bahwa seni tidak perlu besar untuk menjadi bermakna. Kadang, justru dalam miniatur dan potongan manis, kita menemukan kekuatan untuk memahami diri sendiri.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 17 Juli 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.