Sunday, August 31, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 60)

Another World

Another World menyatukan dunia imajinatif dua seniman berbeda dalam sebuah pameran duo (Fauzan dan Joko Nastain) yang mengajak pengunjung untuk melangkah melampaui batas-batas yang familiar. Melalui bahasa visual yang kontras namun saling melengkapi, masing-masing seniman menawarkan visi personal tentang realitas alternatif—dunia yang dibentuk bukan oleh logika atau konvensi, melainkan oleh emosi, ingatan, dan kemungkinan. Dalam ruang bersama ini, imajinasi menjadi bentuk perlawanan dan keajaiban—alat untuk membayangkan kembali eksistensi di luar batasan keseharian. Dari lanskap surealis hingga interpretasi abstrak mimpi batin, karya-karya ini menantang pengunjung untuk menangguhkan ketidakpercayaan dan mengeksplorasi apa yang mungkin terjadi, alih-alih apa yang nyata.

Another World bukanlah tempat tunggal, melainkan pertemuan berbagai perspektif—titik temu dimana dua pikiran artistik mengungkap semesta paralel, mengundang kita untuk mempertimbangkan cara-cara baru dalam melihat, merasakan, dan menjadi. Pameran ini berlangsung di Vice & Virtue Gallery pada tanggal 9 - 31 Agustus 2025.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 26 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, August 30, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 59)

Are We Ok ?

Perkembangan teknologi telah mengubah pola hidup manusia. Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Hubungan antarmanusia, yang dulu berpusat pada pertemuan langsung dan interaksi tatap muka, telah bergeser ke ranah virtual—cepat dan tanpa batas.

Konsep sosialisasi telah berubah. Melalui media, hubungan sosial mungkin menjadi dangkal; identitas dapat disembunyikan, dan ini pada akhirnya memengaruhi kesehatan mental. Situasi semakin memburuk selama pandemi Covid-19, ketika manusia sebagai makhluk sosial menjadi semakin individualistis, terisolasi, dan menarik diri.

Oleh karena itu, kesehatan mental menjadi tema Pameran OPC (One Piece Club) 2025: "ARE WE OK?". Pertanyaan ini tercermin dalam karya-karya yang dikurasi, di mana para seniman dan kolektor terhubung melalui karya-karya yang mengungkap kesepian, kebingungan, dan pencarian identitas. Diri yang tersembunyi digambarkan melalui imajinasi tanpa batas, di mana "perasaan" dan "empati" seringkali terabaikan. Ruang-ruang kosong, tatapan yang jauh, dan objek-objek yang dipenuhi ketakutan dan ketidakpastian muncul dengan jelas.

Lebih jauh lagi, komunitas terpinggirkan yang lahan produktif dan hak perumahannya terancam oleh tekanan kapitalisme, yang memaksa mereka bermigrasi ke kota-kota besar dan bertahan hidup di daerah kumuh—juga mengalami perjuangan kesehatan mental. Perjuangan kemerdekaan dan gejolak politik—mulai dari pembakaran, perusakan, pengkhianatan, hingga negosiasi tanpa akhir lintas generasi—telah meninggalkan rasa cemas yang diwariskan kepada setiap generasi.

Namun keindahan alam, persahabatan, kebersamaan, dan penyerahan diri terus memberikan dampak positif pada kesehatan mental. Beberapa karya dalam pameran ini mencerminkan kondisi tersebut. Pergeseran praktik seni kontemporer melalui media dan teknologi—dari seni video dan animasi hingga NFT—juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pameran ini. Pameran OPC Indonesia 2025 menampilkan 56 karya individu dan 1 karya kolektif dari 51 anggota, yang mencerminkan antusiasme para pencinta seni Indonesia. Pameran ini berlangsung pada tanggal 23 - 31 Agustus 2025 di RUCI Art Space.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 27 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, August 23, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 58)

In Between Stillness

Wedhar Riyadi menggelar pameran tunggal bertajuk In Between Stillness di Ara Contemporary, Jakarta, pada tanggal 16 Agustus hingga 14 September 2025. Pameran ini menampilkan seri terbarunya, Tabletop Diaries. Dengan semangat merayakan sisi-sisi kehidupan manusia yang terabaikan dan biasa saja, yang muncul dari pengamatannya yang tenang selama isolasi pandemi, Riyadi melukis susunan benda-benda mati, menggemakan tradisi lukisan still life, tetapi benda-benda yang ia gambarkan merupakan replika tanah liat. 

“Ini merupakan pameran pertama saya di Jakarta setelah yang terakhir 14 tahun yang lalu. Karya seni ini merupakan hasil observasi saya selama masa pandemi yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Karena itu karya patung instalasi dan lukisan saya ini berhubungan dengan apa yang saya lihat sehari-hari, benda-benda rumahan,” tutur Wedhar, mengawali penjelasannya kepada media, Jumat (15/8/2025). 

Reproduksi ini tidak dimaksudkan untuk direplikasi; melainkan direduksi menjadi monokrom tanpa label atau karakteristik apa pun, yang memungkinkan benda-benda tersebut mengungkapkan maknanya melalui penikmatnya dengan mencerminkan prinsip spiritual bahwa makna muncul dalam keheningan dan kekosongan. Tabletop Diaries melanjutkan eksplorasi Riyadi yang berkelanjutan terhadap konteks-konteks yang saling bertentangan dalam satu komposisi tunggal, yakni alam dan buatan, di mana, dalam karya-karya sebelumnya, ia melukis potret-potret yang dihiasi unsur-unsur karakter lucu. Secara tradisional, lukisan still life mengungkap kefanaan eksistensi manusia melalui kefanaan objek-objek seperti buah yang digigit, bunga yang layu, dan rangkaian bunga buatan manusia. Demikian pula, dalam karya-karya Riyadi, jejak kehadiran manusia terasa pada permukaan-permukaan tanah liat yang terjepit. 

Jejak sentuhan, keausan, noda, goresan, dan patina menjadi lapisan sejarah, penanda bahwa benda-benda ini pernah hidup. Tanah liat, atau dalam hal ini tanah, telah lama melambangkan penciptaan sekaligus akhir kehidupan. Kecemerlangan latar belakang dan pencahayaan yang menyilaukan menghadirkan kesan artifisial. Ketegangan antara alam dan sintetis, yang hidup berdampingan dalam satu komposisi, mengajak kita untuk mempertimbangkan apakah kita secara naluriah lebih mengutamakan alam daripada buatan manusia, atau mungkin sebaliknya. 

“Mengapa saya mereplikasikan benda-benda yang ada di rumah dengan tanah liat, karena merupakan medium yang mewakili manusia. Medium yang sifatnya sensitif, juga merekam lingkungan sekitar kita, ada bekasnya, ada keausannya, dia juga lunak seperti tubuh manusia, sekaligus rentan. Selain itu, cara melukis saya pakai metode still life jadi antara seniman dengan objeknya saling berhadapan, sehiingga ada koneksi,” jelasnya. Seri terbarunya, Tabletop Diaries, menggambarkan susunan benda-benda rumah tangga yang terbuat dari tanah liat, merujuk pada lukisan still-life abad ke-16, yang sering kali mengeksplorasi tema-tema kehidupan dan perjalanan waktu, serta kaitan tanah liat atau tanah dengan asal-usul dan akhir kehidupan manusia.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 19 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Sunday, August 17, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 57)

Whoever Stays Until The End Will Tell The Story

ROH merasa terhormat mempersembahkan "Whoever Stays Until The End Will Tell The Story", pameran tunggal pertama Agung Kurniawan (lahir 1968, Jember, Indonesia) di galeri ini. Pameran ini menampilkan proyek-proyek jangka panjang yang telah digarapnya selama lebih dari satu dekade, berdialog dengan sejumlah seniman baru untuk pameran tersebut, termasuk relief dinding teralis, gambar di atas kertas, instalasi kinetik, performans, dan lukisan. Pameran ini menekankan berbagai aspek praktik Kurniawan—inovasi berkelanjutannya dalam interaksi antara gambar dan performans sebagai bentuk latihan memori, kembalinya yang sering ke alegori sakral sebagai skema untuk menguraikan ambiguitas moral yang membentuk kehidupan kolektif—dan bekerja bersama sebagai perangkat untuk memandu hafalan akan relevansi abadi dari kisah-kisah tentang iman, pengkhianatan, harapan, dan pengorbanan ini.

Agung Kurniawan mengubah ingatan menjadi tarian rekonsiliasi melawan kelupaan, di mana gambar di atas kertas, pertunjukan, relief dinding teralis, dan lukisan berperan sebagai saluran pelestarian. Karya-karya Kurniawan berfungsi seperti manuskrip beriluminasi—sebagai alat untuk mendorong diskusi dan memengaruhi kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan struktur yang jauh lebih besar. "Dalam perjalanan menuju perjuangan yang gagal, Anda membutuhkan lamunan," ujarnya. Kehidupan sehari-hari terjalin dengan simbolisme sakral, memantulkan ke luar ke dalam segudang harapan, keputusasaan, dan pertanyaan eksistensial yang berkelanjutan. Membingkai lukisan-lukisannya—yang terbenam dalam nuansa merah—sebagai penyeimbang puitis terhadap praksis, ini adalah ruang untuk empati dan kekerabatan universal yang dilatarbelakangi oleh keterikatan sejarah pribadi kita dan hubungannya dengan konteks global yang lebih luas. Pameran Whoever Stays Until The End Will Tell The Story berlangsung pada tanggal 6 Agustus - 7 September 2025 di ROH, Jalan Surabaya 66, Jakarta 10310.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 15 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, August 16, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 56)

Fragmentasi Popular-Unpopular

Awal Agustus 2025, sebuah berita yang cukup konyol menyeruak di laman-laman media sosial Indonesia di tengah ramainya berita soal logo perayaan kemerdekaan yang jelek, pemberian abolisi dan amnesti, jurusan filsafat mesti dihapus, dan berita- berita romansa hidup selebritas. Berita tersebut berpusat pada maraknya seruan mengibarkan bendera Jolly Roger, atau bendera bajak laut Topi Jerami dari anime One Piece. Seruan dan juga tindakan pengibaran dirumah-rumah dan kendaraan menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia. Banyak warga yang menafsirkan bendera tersebut sebagai protes simbolis-pencarian kebebasan dan keadilan terhadap korupsi yang dirasakan,yang mencerminkan tema salah satu manga dan anime terpopuler didunia tersebut.

Yang konyol di luar soal One Piece sendiri juga adalah sedemikian cepatnya berita tersebut merebak dan menjadi populer--mungkin membuat kita sendiri lupa dengan banyak berita lain yang bisa berdampak lebih serius terhadap kehidupan bernegara. Soal ini memang tidak hanya sekadar tingkah laku iseng warga +62, tetapi juga menjadi pengingat bahwa sebagian besar opini dan perhatian kita masih dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat melalui algoritma berita di media sosial. Fenomena ini mungkin bisa menjadi mikrokosmos yang sempurna bagi kondisi kontemporer kita dan merupakan pintu masuk yang penting ke dalam pameran 'Fragmentasi Popular - Unpopular' yang menjadi tema Pameran Gorta 2025 kali ini.

Dalam payung kuratorial, pameran ini memang menawarkan pembacaan yang luas atas tanggapan perupa terhadap situasi masyarakat di tengah luber informasi serta pemahaman akan kebenaran yang hakiki. Tim kurator berupaya untuk menafsir situasi sosial di era paskainternet untuk mengungkapkan bagaimana batas antara hiburan dan pidato politik telah kabur, dan bagaimana simbol fiksi dapat membawa lebih banyak kebenaran yang dirasakan daripada narasi resmi negara, lewat tangan-tangan kreatif seniman Jakarta. Bendera bajak laut menunjukkan sebuah dunia di mana 'kebenaran pribadi', yang ditempa dari kecintaan bersama terhadap sebuah gagasan fiksi-sebuah bentuk kreatif, dapat secara langsung menantang otoritas pemerintah.

Soal bajak laut fiksi di atas dapat membeberkan pertanyaan-pertanyaan penting dalam pameran ini. Bagaimana realitas kita dibangun, dan apa yang terjadi ketika alat yang dimaksudkan untuk menghubungkan kita juga digunakan untuk mengendalikan kita? Merebaknya berita populer secara cepat dan masif tersebut memperlihatkan persoalan kompleks dalam peta kekuasaan yang lebih besar, yang dimulai dari gawai pribadi kita. Saat ini kita semua hidup di dalam apa yang disebut El Pariser sebagai "gelembung filter", sebuah alam semesta informasi yang tak terlihat yang terasa bebas namun sebenarnya dikurasi dengan cermat oleh algoritrma komputer untuk membuat kita tetap terhubung.

Akan tetapi, gelembung pribadi ini bukan hanya fitur netral dari teknologi. Meminjam pemikiran Ulises A, Mejias dan Nick Couldry, situasi ini adalah titik akhir dari sebuah sistem "kolonialisme data"-ekstraksi perhatian dan pengalaman manusia yang sangat besar dan tidak merata untuk mendapatkan keuntungan dan kontrol sosial. Di titk inilah fragmentasi hidup berdasarkan parameter-parameter tertentu dibuat untuk mengendalikan kita. Sebuah sistem di mana realitas hidup kita secara diam-diam dibentuk oleh otoritas yang kuat dan tak terlihat.

Di tengah lanskap realitas yang terfragmentasi dan arus informasi yang terkontrol ini, di manakah posisi seorang perupa? Mungkin sama seperti warga yang mengibarkan bendera bajak laut perupa dapat menjadi bajak laut, menavigasi dunia dimana setiap simbol bisa punya makna yang sangat kuat dan setiap gambar dapat dibaca secara politis. Di titik ini, perupa dihadapkan pada sebuah pilihan mendasar: mengikuti arus populer dan menciptakan karya yang memperkuat sistem algoritma yang mulus dan dapat diprediksi, atau memilih jalur non-populer, menjadi sebuah glitch-sebuah gangguan yang mungkin dapat menggoyang otoritas yang berjalan secara tersembunyi.

Strategi pertama adalah strategi penyelarasan, perupa yang mengikuti arus populer akan menciptakan karya yang berkembang dalam parameter platform digital, ataupun memilih medium dan subyek yang populer. Karya tersebut seringkali langsung terlihat, mudah dipahami, dan terstruktur untuk didistribusikan di sosial media secara maksimal. Strategi kedua- strategi melawan arus. Melawan di sini dapat diartikan sebagai pilihan artistik yang menjauhi teknik, medium, atau subjek yang populer. Tentu ada risiko ketika memilih pendekatan semacam ini, sebab karyanya mungkin tidak dapat dipahami secara mudah. Kendati demikian, kedua strategi pembacaan ini tidak serta-merta memberikan jawaban kepada kita. Alih-alih, kedua strategi ini mendorong kita untuk merenung sejenak, mengundang untuk mempertimbangkan perbedaan antara apa yang kita lihat dan apa yang sebenarnya ada di sana.

Dengan menjembatani dunia "populer" dan "tidak populer', para perupa dalam pameran ini menyusun ulang hal-hal yang menurut mereka penting untuk diutarakan; penting untuk disuarakan ke luar dari gelembung masing-masing. Karya-karya yang ditawarkan dalam pameran ini tidak menawarkan satu kebenaran alternatif. Sebaliknya, mereka menumbuhkan disposisi kesadaran kritis, mendorong kita untuk secara aktif mempertanyakan, mencari kompleksitas, dan menjadi individu yang lebh sadar akan realitas kita sendiri.

Perlawanan simbolis dari bendera One Piece beberapa waktu lalu adalah letusan spontan dari dorongan serupa. Di sini, para perupa menyalurkannya dengan maksud yang terfokus. Mereka menyediakan ruang sebagai bentuk pencarian berkelanjutan yang mungkin sulit ditemukan dalam arus kehidupan digital kita yang bergerak cepat "Fragmentasi Popular-Unpopular," dengan demikian, lebih dari sekadar pameran yang harus dilihat, pameran ini merupakan undangan untuk mengambil perspektif yang berbeda. Saat kita menjelajahi ruang pameran ini, kita dapat mempertimbangkan serangkaian pertanyaan penting : Fragmen-fragmen apa saja yang membentuk realitas kita sendiri? Bagian mana yang "populer", yang diberikan kepada kita oleh logika yang tidak terlihat, dan bagian mana yang "tidak populer" yang kita cari sendiri? Dan apa peran perupa dalam lanskap ini- apakah mereka hanya merefleksikan dunia kita yang terpecah-pecah, atau apakah mereka menawarkan alat untuk menyatukannya kembali? Pameran ini berlangsung pada tanggal 14 - 27 Agustus 2025 di TIM.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 15 Agustus 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.