Tuesday, February 25, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 40)

Sh!ttin' in the Head

Sh!ttin' in the Head adalah tentang kekuatan pesan yang kuat dalam seni kontemporer. Dalam dunia seni yang serba cepat saat ini, yang penting bukan hanya tentang bagaimana sesuatu terlihat tetapi apa yang dikatakannya dan bagaimana perasaan Anda. Pameran ini merupakan keseimbangan yang baik antara konsep di balik karya dan dampak visualnya.

Seniman yang ditampilkan di sini sebagian besar masih muda, tetapi mereka sudah menjadi pusat perhatian. Mereka telah menarik perhatian juri senior, memenangkan penghargaan utama seperti UOB Painting of the Year dan Basoeki Abdullah Art Award. Mengapa? Karena mereka tidak takut untuk melampaui batas; mereka tidak bermain aman.

Beberapa seniman ini baru mulai melihat hasil kerja keras mereka selama bertahun-tahun. Mereka telah diakui sebagai finalis atas perkembangan pesat dan evolusi karya mereka. Pameran ini bukan sekadar pajangan. Pameran ini merupakan batu loncatan bagi para seniman ini saat mereka menaiki tangga untuk menjadi tokoh utama dalam kancah seni kontemporer.

Pameran ini merupakan undangan untuk memamerkan beberapa karya yang secara visual memukau sekaligus memiliki kekuatan konseptual. Pameran ini tentang melibatkan diri dengan seni yang menantang dan memprovokasi, mendorong kita untuk berpikir dan merasakan dengan cara baru. Pameran ini berlangsung pada tanggal 25 Januari 2025 - 09 Februari 2025 di Unicorn Gallery, Wisma Geha Lantai 4, Jakarta Pusat. 

Saya menghadiri pameran pada tanggal 07 Februari 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Monday, February 24, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 39)

Vibes Don't Lie

Adi Dharma, yang biasa dikenal dengan nama Stereoflow, merupakan seniman yang memulai eksplorasi dari seni budaya street art dan hip-hop. Kedua hal tersebut menjadi landasan dalam pendekatannya terhadap lukisannya. Pada pameran tunggalnya sepuluh tahun lalu - Beatscape, ia memperkenalkan pendekatannya dalam menggabungkan prinsip penciptaan musik ke dalam bentuk visual. Melalui warna neon yang berani dengan komposisi yang dinamis, karya dalam Beatscape mencerminkan energi yang sesuai dengan tempo dan ritme yang disusun dalam musik.

Kini dalam pameran tunggal berjudul "Vibes Don't Lie", Stereoflow menampilkan sebuah evolusi artistik. Perubahan yang terjadi karena adanya pertumbuhan usia dan bertambahnya pengalaman. Penggunaan warna yang sebelumnya berani dan mencolok berubah menjadi palet warna yang lebih tenang. Bentuk refleksi atas pendewasaan. 

Dalam pameran ini, Stereoflow mengangkat kota sebagai subjek dalam karyanya. Jakarta sebagai kota tempat ia hidup dan berkarya, menjadi pusat dari eksplorasinya. Kota adalah ruang yang penuh paradoks - melalui struktur fisiknya yang menampilkan keteraturan dalam satu sisi, dan penuh kekacauan di sisi lainnya. Melalui komposisi yang terkesan tidak teratur, Stereoflow justru menemukan pola dan harmoni yang tidak terduga. Kedua elemen itu tidak hanya berdampingan tetapi juga saling menguatkan, menciptakan sebuah narasi visual. 

Stereoflow menggunakan bentuk dan warna yang acak sebagai hasil dari interpretasi atas tata ruang. Penggunaan warna yang berbenturan, mencerminkan keanekaragaman visual yang ditemuinya dalam keseharian hidup di Jakarta. Tidak hanya dari segi warna, bentuk dalam karya Stereoflow juga mencerminkan dualitas ini. Garis-garis tegas yang diciptakan dengan teknik hard edge menunjukkan keteraturan yang khas dari kehidupan urban, sementara semprotan spray paint mencerminkan kebebasan dan spontanitas yang menggambarkan energi liar kota. Komponen bentuk dan warna yang saling tumpang tindih ini pada akhirnya melahirkan sebuah keserasian. There is chaos in order and order in chaos. 

Pameran ini hadir sebagai interpretasi Stereoflow sebagai seniman sekaligus individu dalam sebuah ekosistem. Pola dan warna yang dituangkan di atas kanvas dan tembok digambarkan berdasar pada pengalaman individu dan struktur sosial tempatnya berada. Dalam setiap karya, Stereoflow menangkap esensi kota sebagai ruang yang hidup dan terus bergerak. Tidak ada pesan eksplisit atau narasi tunggal dalam karya-karyanya - hanya interpretasi jujur dari apa yang ia lihat dan rasakan. 

Melalui "Vibes Don't Lie", Stereoflow ingin mengajak audiens untuk terlibat dalam pengalaman sensoris, dimana karya tidak sekedar hanya dilihat, melainkan juga dirasa. Stereoflow ingin memberikan ruang untuk kita mengeksplorasi perasaan atas keragaman dari kota, entah dalam bentuk fisik maupun perasaan. Pameran ini adalah sebuah ajakan untuk menemukan sinestesia dari sebuah karya seni yang ekspresif. Pameran ini berlangsung pada tanggal 25 Januari 2025 - 16 Februari 2025 di Rachel Gallery.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 07 Februari 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Sunday, February 23, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 38)

Souls of Protopia

Ruang-ruang geografis (topos) sering dianggap sebagai medan faktual yang memberi jeda intelektual untuk dibaca. Informasi diterima sebagai hasil, an sich, yang sifatnya tidak mungkin keliru. Wilayah-wilayah geografis bahkan lebih dianggap lebih nyata dari kenyataannya sendiri. Peta (chart) menjadi sebuah kendaraan nominal dari sebuah struktur peradaban teknologis. Apa yang dipetakan (charted) adalah hasil pemetaan (charting) yang tinggal diterima begitu saja. 

Budayawan Kevin Kelly keberatan dengan dikotomi topos dalam u topos (utopia) dan dys topos (distopia). Ruang-ruang geografis adalah ruang yang sedang dibentuk - pro topos. Protopia adalah sebuah ruang yang dipetakan dengan memetakan. Sejalan dengan ide Yuval Noah Harari dalam Nexus, informasi adalah in-formation; informasi bukan tentang kebenaran. Informasi membentuk realitas karena bertalian kuat dengan jejaring. Informasi adalah bahan baku pembentuk jejaring yang akhirnya merajut lembaran-lembaran sejarah. 

Apa yang dihadirkan Sandy Tisa dalam pameran tunggal "Souls of Protopia" kali ini adalah peta yang sejalan dengan geliat yang ditukaskan Simonetta Moro; sebagai oleh-oleh dari dunia mitik yang mengisi kepala manusia, sebagai hasil dokumentasi (yang bersifat sangat personal), dan sebagai bentuk realitas relasional yang bersifat intersubjektif. Dengan memetakan batinnya, Sandy berusaha untuk tidak terjebak dalam pseudo-faktualitas yang mengabsolutkan keroposnya realitas artifisial. Karya-karya Sandy adalah catatan perjalanan dari protopia yang ia bangun dari kegigihan dan ketekunan ekspresiensialnya. 

Lewat pameran tunggalnya, Sandy Tisa mengajak kita melihat peta bukan sebagai sesuatu yang statis, tapi bagian dari proses yang terus bergerak. Ini bukan soal benar atau salah, tapi bagaimana realitas dibentuk dari cara kita membaca dan memaknainya. Pameran ini berlangsung pada tanggal 25 Januari 2025 - 16 Februari 2025 di Lantai 1, Wisma Geha Lantai, Jakarta Pusat. 

Saya menghadiri pameran pada tanggal 07 Februari 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Sunday, January 26, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 37)

Jejak Perlawanan Sang Presiden 2001

Raden Soehardi Adimaryono atau yang akrab disapa Hardi, memiliki kontribusi besar dalam perkembangan arah seni rupa Indonesia. Meski telah tiada, karya-karya seniman yang meninggal pada 2023 lalu, tetap dikenang lewat pameran Jejak Perlawanan "Sang Presiden 2001" Tribut untuk Hardi (1951-2023). Pameran ini menampilkan total 78 karya yang terdiri dari 69 koleksi lukisan dan sketsa, lima jangker, empat keris, dan arsip-arsip pribadi yang menceritakan proses kreatif dan perjalanan hidup Hardi.

Hardi adalah salah satu pendiri Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), Hardi dikenal dengan semangat juangnya dalam menyuarakan kritik sosial dan politik melalui seni. Hardi dikenal sebagai perupa yang menjadikan seni sebagai alat perlawanan, ruang dialog, dan refleksi atas realitas sosial-politik Indonesia. Dia kerap menggabungkan tradisi dengan inovasi, dan dinamika perjalanan bangsa. Kurator pameran, Dio Pamola C, mengatakan setiap karya seni Hardi adalah saksi bisu perjuangan. "Pameran ini adalah ruang dialog antara seni, sejarah, dan semangat perlawanan yang diwariskannya," ungkap Dio. 

Melalui karya-karya yang dipamerkan, publik diajak untuk memahami bagaimana Hardi menciptakan narasi alternatif yang mengungkap wajah kekuasaan pada masanya. Dialog yang dibangun melalui karyanya tetap relevan hingga saat ini. Pameran Jejak Perlawanan "Sang Presiden 2001" Tribut untuk Hardi (1951-2023) tengah dibuka untuk publik pada 10 Januari sampai 26 Januari 2025 di Gedung A, Galeri Nasional Indonesia,  Jakarta Pusat, pukul 09.00 WIB-19.00 WIB.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 20 Januari 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Sunday, January 19, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 36)

Liminal Realities

Pameran Seni Rupa Murni "Liminal Realities" adalah sebuah pameran yang memadukan karya seni lukis, grafis, dan patung hasil eksplorasi kreatif para dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Istilah "liminal" berasal dari kata Latin limen yang berarti "ambang" atau "batas". Dalam konteks seni rupa, Liminal Realities digunakan untuk menggambarkan pengalaman estetika, emosional, atau simbolis yang ada di wilayah ambang, tidak sepenuhnya berada di satu sisi atau sisi lainnya.

Liminitas, sebuah konsep yang berasal dari filsafat dan antropologi, merujuk pada keadaan transisi di mana batas-batas tradisional menjadi kabur. Dalam seni, liminitas menawarkan kesempatan bagi seniman untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tentang identitas, perubahan, dan hubungan. Pameran ini memperlihatkan bagaimana seniman—melalui permainan bentuk, tekstur, dan narasi—mampu membingkai ulang pengalaman sehari-hari menjadi sesuatu yang bermakna. Seni lukis menyajikan lanskap emosional yang kaya, seni grafis menggambarkan detail dan struktur yang mengundang interpretasi, sementara seni patung menawarkan perspektif fisik hubungan manusia dengan alam, menciptakan dialog yang saling melengkapi.

Pameran ini dihadirkan sebagai wadah untuk menelaah ambang batas ruang, waktu, dan kesadaran dimensi-dimensi yang terus berinteraksi dan melahirkan narasi baru. Dalam menggali batasan antara dunia nyata dan ruang liminal—dimensi yang terletak diantara yang nyata dan tidak pasti serta hadir untuk menggambarkan keadaan transisi, perubahan, dan ambiguitas yang seringkali menjadi refleksi dari kehidupan modern. Melalui karya-karya yang dipamerkan sebagai media komunikasi yang menghubungkan seniman dengan para penikmat seni, pemirsa diajak untuk merenungkan berbagai makna keberadaan, pergerakan, dan batasan yang seringkali tidak terlihat, tetapi dapat dirasakan. 

Seniman yang berpartisipasi dalam pameran ini adalah Agoes Salim, Budi Panca Mulia Tobing, Deny Rusanto, Dolorosa Sinaga, Fachriza Jayadimansyah, Firman Lie, Guntur Wibowo, Jimmy Ivan Suhendro, Munadinanur, Supriyanto, Walid Syarthowi Basmalah, dan Wina Luthfiya Ipnayati. Pameran berlangsung pada tanggal 11 - 25 Januari 2025 di D'Gallerie Jakarta. 

Saya menghadiri pameran pada tanggal 13 Januari 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, January 18, 2025

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 35)

Figure A

RUCI Art Space kembali menghadirkan pameran yang menarik, kali ini dengan karya-karya dari Adine Halim, yang lebih dikenal dengan nama Aharimu. Berlangsung mulai 7 Desember 2024 hingga 20 Januari 2025, pameran bertajuk ‘Figure A’ ini merupakan eksplorasi mendalam tentang tubuh manusia, yang dihadirkan bukan hanya sebagai subjek visual, tetapi juga sebagai medium tekstur, komposisi, dan warna yang dinamis, melampaui batasan seni figuratif tradisional.

Dalam karyanya, Aharimu menafsirkan ulang tubuh manusia sebagai bentuk yang terus berubah dan beralih antara keakraban dan ambiguitas. Melalui pendekatan ini, ia mengundang audiens untuk terlibat secara mendalam dengan elemen-elemen seperti warna, tekstur, dan bentuk. Baginya, tubuh manusia adalah ruang transformasi tanpa batas, yang dapat membawa pengalaman visual dan emosional yang lebih mendalam. Kurator Zarani Risjad mengatakan, seteleng ini memang menghadirkan evolusi artistik Aharimu, termasuk pendalamannya terhadap eksplorasi tentang potensi metaforis tubuh. Dalam fase ini, sang seniman berusaha menerjemahkan bentuk-bentuk manusia ke dalam objek-objek fungsional, tapi tetap memberikan emosi di dalamnya.

Pameran ini menghadirkan 25 karya yang mencakup lukisan, gambar, dan patung. Lukisan-lukisan Aharimu didominasi oleh penggunaan cat minyak yang dipadukan dengan teknik eksperimental. Melalui ‘Figure A’ Aharimu menunjukkan bahwa dasar-dasar seni lukis klasik, seperti gambar figur dan lukisan alam benda, tidak harus kaku atau terjebak dalam tradisi. Sebaliknya, ia membebaskan prinsip-prinsip ini untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih fleksibel dan imajinatif. 

Sebagai seniman yang memiliki latar belakang pendidikan seni rupa formal, Aharimu telah menempuh perjalanan kreatif yang panjang. Ia menyelesaikan studinya di Nanyang Academy of Fine Arts Singapura, School of the Art Institute of Chicago, dan Visual Effects di Vancouver Film School. Pengalaman ini memberikan dasar teknis yang kuat sekaligus memperluas wawasannya dalam menciptakan karya seni. Seni, baginya, adalah medium yang mampu menghubungkan orang dari berbagai latar belakang, menciptakan ruang dialog yang terbuka dan inklusif. ‘Figure A’ bukan hanya sekadar pameran seni, tetapi sebuah undangan untuk menyelami tubuh manusia dari perspektif yang segar dan berani. 

Saya menghadiri pameran pada tanggal 13 Januari 2025.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, December 21, 2024

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 34)

Pop Fractal

Lahir dan dibesarkan sebagai orang Bali, Suanjaya Kencut tumbuh dengan rutinitas membuat sesajen, tradisi sesaji khas Bali yang dianggap sakral. Sesajen terbuat dari berbagai elemen, yang masing-masing elemennya memiliki makna tertentu yang berhubungan dengan percakapan atau hubungan yang ingin dicapai dengan Sang Ilahi. Secara sekilas, setiap elemen tampak abstrak. Begitu disusun menjadi sesajen, semuanya menjadi satu kesatuan, seolah-olah setiap elemen saling terhubung, melantunkan doa yang sama. Baik Art dengan senang hati mempersembahkan pameran tunggal Suanjaya Kencut, “Pop Fractal”, yang menyajikan karya tentang bagaimana ia memandang dunia, bagaimana kita terbuat dari potongan-potongan kecil, terpisah dan tersegmentasi. Di sini, sang seniman mencoba secara kiasan menutup jarak, berharap untuk membangun hubungan yang telah lama dirindukan. Pameran berlangsung pada tanggal 14 November 2024 sampai 11 Januari 2025 di Baik Art, Jl Sekolah Duta V No. 35, Jakarta Selatan.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 12 Desember 2024.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, December 14, 2024

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 33)

Filter Too Much Flavour

Ditengah ajakan-ajakan untuk abai, I Wayan Novianto dan Lilik Setyawan memilih untuk tetap bersetia pada rangsang ide yang bernafaskan kepedulian, utamanya mengenai pentingnya ketahanan pangan di tengah masyarakat kita. Keduanya berhasil menyaring banyaknya tawaran rasa dengan melakukan upaya-upaya perawatan kehidupan. Pilihan ini akhirnya menjadi strategi penciptaan karya yang lebih berpihak pada keberlangsungan kehidupan dari pada pilihan untuk menjadi apatis dan egois. Asep Prasetyo dan Dedi Irawan memiliki kehendak yang kuat di tengah godaan untuk pasrah dengan kemajuan. Keduanya memiliki keputusan-keputusan artistik yang menarik dan bersetia pada metode-metode berkarya yang dipercaya dapat menjaga kualitas karyanya. Ini pula adalah usaha menyaring teknologi yang memicu kedangkalan keterampilan di tengah budaya kekaryaan hari ini. Pameran berlangsung pada tanggal 16 November - 15 Desember 2024 dan menjadi pameran penutup Artloka di tahun ini.

Saya menghadiri pameran pada tanggal 05 Desember 2024.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Saturday, December 07, 2024

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 32)

Tidak Berarti Tidak ...

Karya dalam pameran ini "Tidak berarti tidak ... " berasal dari dua masa. Karya-karya Bambang Bujono (Bambu), semuanya berjudul Lukisan dibuat pada tahun 1970an. Sementara karya-karya dari Jeroen Tan Markaban (Tan Markaban), kebanyakan tak berjudul (untitled), dibuat dalam satu dekade terakhir. Kedua pelukis ini akrab dengan gambar, lukisan, dan seni rupa sejak dini. 

Sekilas pandang, lukisan-lukisan dalam pameran ini akan dengan mudah kita sebut abstrak karena kecenderungannya yang tidak serta merta figuratif. Pada beberapa lukisan Tan Markaban, kita masih bisa mengenali tangga, bangunan, atau teks, namun, secara bangunan elemen dalam kanvas, bidang kehadirannya, tidak mengundang kita untuk dapat membacanya secara figuratif. Sementara pada lukisan Bambu, beberapa elemen yang berulang bisa kita kenali sebagai lingkaran, oval, atau persebaran titik. Demikianlah mengapa abstrak jadi sebutan yang 'aman' untuk lukisan-lukisan ini. 

Kembali ke ruang pamer kita kali ini, lukisan Bambu dari tahun 1970an dan lukisan Tan Markaban satu dekade terakhir dipajang bersandingan, berkelindan satu sama lain. Dapatkah kita melepaskan harapan kita akan objek-objek dalam bidang-bidang kanvas ini untuk mewakili atau meniru kenyataan, keseharian ? Perlukah ia mengada (-ada) ? Bilapun kita berhasil tuna harap, apa yang bisa kita rasakan, lampiaskan, atau bawa pulang ? Jika ada, abstrak juga kah ia ? 'Abstrak'-kah ? Atau dapatkah kita menautkannya dengan sesuatu yang berasal dari keseharian kita ? 

Selamat menikmati "Tidak berarti tidak ..." yang berlangsung pada tanggal 30 November 2024 - 17 Desember 2024 di Rubanah Underground Hub. 

Saya menghadiri pameran pada tanggal 05 Desember 2024.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.

Friday, December 06, 2024

PAMERAN KARYA SENI (BAGIAN 31)

Versus

Seni adalah medium untuk manusia bermetamorfosis dan bertransformasi. Perubahan adalah sebuah proses yang pasti dan tak terhindarkan. Setiap individu pasti bertransformasi, dipaksa oleh dinamika kehidupan untuk terus berubah. Dalam konteks ini, seni menjadi salah satu cara manusia merefleksikan apa yang terjadi. Melalui seni, seniman dan material yang digunakan saling berkorespondensi untuk menciptakan hal baru. 

Tema "Versus" ini menawarkan sebuah ruang bagi kita untuk melihat bagaimana dua seniman yang memiliki perspektif yang berbeda, bertemu dalam garis tengah, yaitu perubahan. Jowo Faqih dan Dikco Ayudya keduanya menggambarkan sebuah proses perubahan, tidak hanya mereka sebagai seniman tetapi juga karya itu sendiri sebagai hasil dari perubahan yang dialami. 

Dikco Ayudya mengangkat transformasi sebagai respon terhadap lingkungan dan pengalaman bermain game, yang ia jadikan sebagai metafora kehidupan. Karya seperti "Killing Machine" dan "Devotion" menggambarkan proses adaptasi yang cepat dan pengendalian diri, dimana manusia dihadapkan pada tantangan yang memaksa mereka untuk terus berubah. Dikco melihat hidup sebagai permainan yang harus ditamatkan, namun di setiap permainan, ada pelajaran tentang pengorbanan, kesetiaan, dan pencapaian yang harus dihadapi dengan hati penuh. 

Jowo Faqih menampilkan karya yang sangat personal, dimana elemen emosional dan pengalaman hidup membentuk narasi dalam setiap lukisan. Karyanya seperti "Rockmantic" dan "Aim for Heaven" adalah bukti dari pergulatan batin dan transformasi diri. Ia menggambarkan betapa rapuhnya manusia di tengah tuntutan menjadi kuat, serta perjuangan spiritual yang terus menerus dilakukan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Dalam konteks metamorfosa, Jowo memproyeksikan perubahan yang tidak hanya emosional tetapi juga spiritual. Karya seninya adalah manifestasi dari pencarian diri dan pergeseran perspektif yang dialami sepanjang hidup. 

Kedua seniman ini, melalui karya mereka, menciptakan ruang dialog tentang transformasi manusia. Mereka tidak hanya mengeksplorasi perubahan sebagai sesuatu yang terjadi pada diri sendiri, tetapi juga bagaimana seni menjadi medium dalam proses metamorfosa ini. Pameran "Versus" ini mengajak kita untuk menghargai tiap harmoni yang ada dalam setiap perubahan. Dalam konteks ini, karya seni tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi kreatif, tetapi juga sebagai hasil dari transformasi seniman itu sendiri. Pameran ini berlangsung pada tanggal 16 November 2024 - 05 Januari 2025 di Rachel Gallery, Wisma Geha 3rd Floor, Jl. Timor No. 25, Menteng Jakarta Pusat. 

Saya menghadiri pameran pada tanggal 05 Desember 2024.


Note :

Jika ingin melihat foto-foto atau video-video selengkapnya, dapat mengunjungi YouTube saya di https://www.youtube/com/@afindrapermana.